1. Chairul Anwar
Dunia Sastra Indonesia telah mengenal seorang penyair besar bernama Chairil Anwar, seorang yang teramat dipopulerkan oleh karya-karyanya sendiri yang memuat besarnya sebuah pemikiran akan keterkaitan dirinya dengan suatu keadaan dan persoalan zaman, tentang Perang, Revolusi dan bahkan Si Binatang Jalang(Julukan Chairil Anwar) ini telah mengisyaratkan keberadaan dirinya juga melalui kata-kata. meski sang sastrawan besar ini meninggal di usia muda yang akan beranjak 27 tahun, Sastra Indonesia dalam perkembangannya hingga saat ini masih merasakan benar pengaruh bahasa seorang Chairil Anwar yang cenderung berlepas diri dari kaidah bahasa baku demi sebuah ekspresi keindahan sastra.
Chairil Anwar adalah seorang anak tunggal yang lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, dari pasangan Toeloes dan Saleha yang keduanya berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota di Sumatera Barat, Bapaknya adalah mantan Bupati Indragiri Riau sedangkan ibunya masih punya pertalian keluarga dengan Sultan Sjahrir (Perdana Menteri Indonesia Pertama), Chairil lahir dan dibesarkan dalam kehidupan keluarga yang cukup buruk, dimana ketika beranjak pada usia 19 tahun, kedua orang tuanya bercerai yang kemudian ayahnya menikah lagi dengan wanita lain sedangkan Chairil bersama Ibunya pindah ke Batavia (jakarta).
Chairil Anwar kecil masuk sekolah dasar Holland Indische School (HIS) yang merupakan sekolah dasar untuk orang-orang pribumi di masa penjajahan Belanda, selanjutnya dia meneruskan pendidikan menengah pertamanya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, kemudian sejak usia 18 tahun ia tidak melanjutkan sekolah lagi, meskipun begitu Chairil mampu menguasai bahasa-bahasa asing yang diantaranya Bahasa Inggris, Belanda dan Jerman. di Jakarta Chairil mulai berkenalan dengan dunia Sastra dan banyak menghabiskan waktunya untuk membaca tulisan-tulisan Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff serta Edgar du Perron, kesemua penulis tersebut kelak sangatlah berpengaruh pada tulisannya sendiri yang bisa diartikan berpengaruh juga pada tatanan Kasusastraan Indonesia.
Tahun 1942 merupakan tahun dimana nama Chairil Anwar mulai dikenal dalam Dunia Sastra, hal ini berkaitan dengan pemuatan tulisannya di Majalah Nisan, tepatnya ketika dia menginjak usia 20 tahun. pada masa itu sebagian besar puisi-puisinya bertemakan kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Chairil Anwar dalam kehidupannya pernah menjadi penyiar radio jepang di jakarta dan mulai jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Sri Ayati yang hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. kemudian pada tanggal 6 Agustus 1946 ia memutuskan untuk menikahi Hapsah Wiraredja dan dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, Pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian pada akhir tahun 1948.
Chairil Anwar mulai diserang sejumlah penyakit sebelum menginjak usia ke 27 tahun yang berakhir pada kematiannya dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo) pada tanggal 28 April 1949, dikatakan bahwa menjelang kematiannya, Chairil Anwar insaf dan mengingau memanggil “Tuhanku, Tuhanku….” dan sehari setelah kematiannya ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus”.
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi, kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
2. Affandi Koesoema adalah nama seorang Maestro Seni Lukis Indonesia, seorang putra Cirebon yang lahir pada tahun 1907, Putra seorang bapak bernama R. Koesoema yang seorang mantri ukur pabrik gula di Ciledug (Cirebon). pendidikannya di awali di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs(MULO) hingga di Algeme(e)ne Middelbare School (AMS), jenjang pendidikan yang cukup tinggi pada masa itu, meskipun begitu bakat melukis yang begitu kental telah mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya.
Pada tahun 1933 yakni ketika Affandi telah berumur 26 tahun, beliau menikah dengan Maryati yang kemudian dikaruniai seorang putri dengan diberi nama Kartika Affandi yang kemudian mewarisi darah seniman bapaknya sebagai Pelukis. Affandi juga sempat menjadi guru dan bekerja sebagai seorang tukang sobek karcis serta membuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung Bioskop Bandung, namun itu tidaklah lama karena ketertarikannya pada Bidang Seni Lukis, selanjutnya pada kisaran tahun 30-an, beliau tergabung dalam kelompok Lima Pelukis Bandung (Lima Bandung) bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi. Lima Bandung adalah kemudian dikenal memiliki andil yang cukup besar dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia.
Pameran Tunggal Pertamanya diadakan di tahun 1943 di Gedung Poetera Djakarta dimana pada tahun tersebut sedang berlangsung pendudukan tentara jepang di indonesia, sejak saat itulah namanya terus bersinar, diceritakan bahwa beliau pernah mendapatkan beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, yang ternyata menolaknya dengan alasan karena beliau sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi, akhirnya beasiswa tersebut dimanfaatkan untuk Pameran keliling India, Affandi juga termasuk pimpinan pusat dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan pada tahun 1950, Organisasi Kebudayaan Terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto.
Nama Affandi dalam bidang Seni Rupa semakin bersinar, Karya-karyanya dipamerkan diberbagai negara di Asia, Eropa, Amerika dan Australia dan selalu memukau pencinta seni dunia, hingga pada tahun 1974 beliau diberi gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, juga Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan berupa sebuah museum yang didirikan tepat di atas tanah yang pernah menjadi tempat tinggal sang Empu Lukis Indonesia ini dan diresmikan Menteri P&K masa itu, Fuad Hassan. Semasa hidupnya, Affandi diketahui telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis.
Affandi merupakan Maestro Seni Lukis dengan kesederhanaan cara berfikir, meskipun dunia mengakui karya – karyanya bergenre Ekspresionis, namun beliau mengaku tidak tahu menahu mengenai aliran tersebut, Beliau cenderung membutakan diri terhadap teori dan lebih suka bekerja secara nyata dengan penuh kesungguhan, Affandi adalah gambaran kesederhanaan yang mengatakan dirinya tidak punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dia hanya mengaku sebagai tukang gambar, ketika beliau ditanya kenapa dia melukis, beliau hanya menjawab “Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan”
Affandi tetap berprofesi menjadi seorang Pelukis hingga saat meninggalnya pada 23 Mei 1990, meski telah tiada, karya-karya tetap bisa dinikmati di Museum Affandi yang terletak diatas tanah tempat tinggalnya, terdapat sekitar seribu lebih lukisan didalamnya, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
3. Sutardji Calzoum Bachri
Ia adalah Presiden Penyair Indonesia yang dikatakan oleh Para Seniman Riau perihal kemampuannya adalah laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam Dunia Sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah kepergian pujangga besar Penyair Legendaris Indonesia Chairil Anwar. bahkan dia telah menerobos perihal Kata, baik makna, jenis, bentuk hingga tata bahasanya demi menciptakan karya-karya yang terbebas dari belenggu atau aturan-aturan.
Sutardji Calzoum Bachri terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara yang dilahirkan di daerah Rengat, Indragiri Hulu pada 24 Juni 1941, putra dari pasangan Muhammad Bachri dan May Calzoum, sang ayah berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah sedangkan ibunya berasal dari Tanbelan, Riau. Setelah tamat SMA bung tardji (sapaan akrab Sutardji Calzoum Bachri) sempat melanjutkan studinya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Pada masa studinya di bandung itu ia mencoba merintis kesastraannya dengan mulai menulis di beberapa surat kabar hingga sajak-sajaknya sempat dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. pada kisaran tahun 1974 ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam yang dilanjutkan dengan mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji menikah dengan Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.
Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri adalah Karya Sastra yang mengusung konsep kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. kalimat dalam karyanya tidaklah beraturan dan itu merupakan ciri khasnya yang membuat kehidupan Sastra di Indonesia menjadi lebih segar. melalui Sajak-sajaknya tersebut Sutardji mencoba memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. keunikan Sutardi dalam bersastra bukan hanya pada sajak-sajaknya saja, penampilannya di atas panggung pun menarik perhatian semua orang. Pada sebagin besar penampilannya, ia selalu tampil dengan menunjukan sebuah atraksi dan membawa harmonika kesayangannya.
Beberapa Sajak Sutardji Calzoum Bachri telah diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. “O Amuk Kapak” adalah penerbitan yang lengkap dari tiga buku sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
4. Basuki Abdullah
Basuki Abdulah adalah salah satu Tokoh Seni Rupa Indonesia yang dikenal sebagai pelukis beraliran realis dan naturalis. Seorang Maestro Pelukis Indonesia yang pernah menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta. Beragam karyanya banyak menghiasi Istana-istana Negara dan kepresidenan Indonesia serta menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia. Beliau adalah Seniman multitalenta, selain sebagai pelukis, Basoeki Abdullah juga pandai menari dan sering tampil sebagai Rahwana atau Hanoman dalam Tarian Wayang Wong, sebagai pelukis dengan wawasan yang luas, beliau sangatlah menguasai soal pewayangan dan budaya jawa, disamping itu Basuki Abdullah juga menyukai komposisi-komposisi Franz Schubert, Bethoven dan Paganini.
Basoeki Abdullah adalah seorang Pelukis yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, terlahir di Desa Sriwidari pada tanggal 27 januari 1915, ayahnya adalah seorang Pelukis dan salah satu tokoh Mooi Indie bernama R. Abdullah Suryosubroto, sedangkan Ibunya bernama Raden Nganten Ngadisah. Basuki Abdullah adalah cucu dari Wahidin Sudirohusodo yakni salah satu Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia. terhitung sejak umur 4 tahun, Basuki kecil telah gemar menggambar tokoh-tokoh terkenal dunia seperti Yesus Kristus, Mahatma Ghandi, Rabindranath Tagore, Khrisnamurti dan lain-lain. Basuki Abdullah memulai pendidikan formalnya hingga masa muda di HIS (Hollands Inlandsche Scool) yang kemudian dilanjutkan di MULO (Meer Ultgebried Lager Onderwijs). Selanjutnya beliau mendapatkan beasiswa untuk pendidikan Seni Rupa di Academie Voor Beldeende di Deen Haag, Belanda. Selama 2 tahun 2 bulan dengan meraih penghargaan sertifikat RIA (Royal International of Art). Selanjutnya beliau juga mengikuti pendidikan semacam studi bandi ke sejumlah sekolah seni rupa di Paris dan Roma.
Pada tahun 1939, karena merasa bahwa selama bertahun-tahun hasil karyanya hanya dinikmati oleh bangsa asing, Basuki Abdullah mengadakan Pameran Lukisan keliling di beberapa daerah di Indonesia seperti di Jakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Medan. Selama pameran tersebut beragam sanjungan dan kritikan menghampiri, namun oleh beliau dijadikan sebagai dorongan untuk tetap berkarya. Basoeki Abdullah mulai terlihat dalam pergerakan revolusi secara nyata pada kisaran tahun 1942, dan bergabung dengan organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) sebagai pengajar Seni Lukis di tahun 1943. Selain itu beliau juga aktif dalam Keimin Bunka Sdhojo yang merupakan Pusat Kebudayaan milik Jepang bersama Affandi, S. Soedjojono, Otto Djaja dan Basoeki Resobowo. Pada masa-masa kemerdekaan Indonesia, Basoeki Abdullah berada di Eropa bersama istrinya Maya Michel, selama di Eropa, beliau terus aktif berpameran di Belanda dan Inggris. Adapun di tahun 1948, beliau memenangkan sayembara melukis dalam Penobatan Ratu Yuliana, sayembara tersebut menjadikan nama beliau sangat menonjol karena diikuti oleh 87 pelukis Eropa.
Selanjutnya, Pengabdian Basoeki Abdullah semakin nyata ketika mendapatkan tawaran untuk melukis orang-orang penting dari berbagai Negara serta tetap aktif berpameran keliling di berbagai Negara, diantaranya di Singapura (1951), Italia (1955), Portugal dan Inggris (1956), Singapore (1958), Tokyo, Jepang (1959), Kuala Lumpur, Malaysia (1959), dan Thailand (1960). Diantara pameran tersebut yang menonjol pada peroide tahun 1950-1960, yaitu pameran Jepang di Tokyo Jepang pada tahun 1959 yang dibuka oleh Pangeran Mikasa. Anak Kaisar Hirohito. Segala perjuangan yang dilaluinya telah menempatkannya sebagai Duta Seni Lukis Indonesia dan menempati posisi terhormat dengan berbagai penghargaan, pernah menjadi pelukis istana kerajaan Thailand, dan mendapatkan penghargaan berupa bintang emas Poporo dari Raja Bhumibol Aduljadej (Raja Thailand), yaitu sebuah penghargaan tertinggi kerajaan Thailand kepada seorang Royal Court Artist yang mempunyai jasa besar kepada pemerintah dan istana.
Selama perjalanan hidupnya, Basuki Abdullah pernah menikah sebanyak empat kali, istri pertama adalah seorang gadis belanda bernama Josephin yang dinikahi di Belanda tahun 1937 dan setahun kemudian dikaruniai seorang putri bernama Saraswati, pernikahan tersebut tidaklah berlangsung lama, ditahun 1944 Basoeki Abdullah menikah kembali dengan Maya Michel yang seorang penyanyi seriosa mezzosoprano dan kembali berpisah di tahun 1956. Selanjutnya ditahun 1958 menikah kembali dengan wanita Thailand bernama Somwang Noi, namun pernikahan tersebut hanya berlangsung sekitar 2 tahun. Pernikahan terakhir Basuki Abdullah juga dengan wanita Thailand bernama Nataya Nareraat, pernikahan tersebut berlangsung tanggal 25 oktober 1963 hingga akhir hidupnya dengan dikaruniai seorang putrid bernama Cicilia Shidawati.
Basoeki Abdullah meninggal dalam keadaan tragis di usia ke 78, beliau terbunuh oleh seorang pencuri yang hendak mencuri koleksi jam kesayangannya pada hari jumat 5 november 1993. Beliau ditemukan oleh pembantunya dalam posisi tertelungkup, dengan tangan masih memegang kacamata, disertai wajah dan kepala berdarah. Suatu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita. Banyak sekali media yang mencatat peristiwa terbunuhnya pelukis ini. Jenazah Basoeki Abdulllah kemudian dimakamkan didesa Mlati, Sleman Yogyakarta, bersanding dengan makam kakeknya, dr. Wahidin Sudirohusodo.
5. Taufik Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963.
Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.
Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).
Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.
Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah
Advertisement
menghasilkan sebanyak 75 lagu. Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
6. William Shakespeare Sastrawan Inggris
William Shakespeare adalah seorang budayawan dan sastrawan di Inggris. Ia seringkali disebut orang sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah ada di Inggris. Ia menulis antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung lebih banyak diantara semua penulis sandiwara yang lain di dunia.
Biodata William Shakespeare
Nama Lengkap : William Shakespeare
Tanggal Lahir : 26 April 1564
Tempat Lahir : Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris
Kewarganegaraan : Inggris
Orang tua : John Shakespeare dan Mary Aden
7. MICHELANGELO
Tak pelak lagi, tokoh terdepan dalam seni visual dalam sejarah adalah budayawan besar masa "Renaissance," Michelangelo. Bukan kepalang briliannya selaku pelukis, pemahat dan arsitek, meninggalkan hasil karya yang mempesona tiap orang yang melihatnya selama lebih dari empat abad. Karyanya secara mendalam mempengaruhi perkembangan seni lukis dan pahat Eropa sesudahnya.
Lahir di Caprese, Itali tahun 1475, kira-kira empat puluh mil dari Florence. Dari kecil bakatnya sudah tampak jelas, dan di umur tiga belas dia magang pada pelukis kenamaan Shirlandaio di Florence. Setahun sesudah itu dia tinggal di istana Medici milik Lorenzo, penguasa Florence yang bertindak selaku pelindungnya. Sepanjang kariernya bakat besar Michelangelo tak diragukan lagi.
Dia sering sekali dipercaya baik oleh para Paus maupun tokoh duniawi merancang dan membuat karya seni. Meski dia tinggal di banyak tempat, sebagian terbesarnya dihabiskan di Roma dan Florence. Meninggal dunia di Roma tahun 1564, tak lama sesudah usianya lewat delapan puluh sembilan tahun. Setua itu, tak sekalipun pernah kawin.
Kendati dia tidak segenius Leonardo da Vinci angkatannya yang lebih tua, keserbabisaan dan kebolehan Michelangelo tetap amat mempesona. Dialah satu-satunya seniman, mungkin satu-satunya orang, yang sanggup mencapai puncak prestasi dalam dua bidang yang berbeda satu sama lain. Selaku pelukis dia berada hampir di puncak, baik dari segi kualitas keindahan karyanya maupun pengaruhnya terhadap pelukis-pelukis yang datang belakangan. Fresko besar yang menghiasi dinding atas gereja Sistine di Roma merupakan --tidak bisa tidak-- kreasi seni terbesar sepanjang jaman. Tetapi, Michelangelo sendiri menganggap dirinya pertama-tama seorang pemahat, dan banyak kritikus yang menganggapnya pemahat terbesar yang pernah hidup. Patung "Daud" dan "Musa"-nya --misalnya-- dan "Pieta" yang mashur merupakan hasil karya seni yang tak terlampaui.
Michelangelo juga seorang arsitek besar. Salah satu hasil kerja besarnya di bidang ini adalah rancangan gereja Medici di Florence. Selama beberapa tahun dia juga jadi kepala arsitek gereja St. Peter di Roma.
Micheangelo banyak membikin sajak selama hidupnya, sekitar 300 sajak dapat ditemukan. Soneta-sonetanya dan sajak-sajak lain diterbitkan sesudah matinya. Kesemua sajak-sajaknya itu mencerminkan jelas corak kepribadiannya, dan Michelangelo memang menunjukkan dirinya penyair berbakat.
"Pieta" di Vatikan Roma
Seperti halnya saya jelaskan dalam artikel tentang Shakespeare, saya percaya bahwa seni dan para seniman pada umumnya tidaklah begitu banyak pengaruhnya kepada sejarah kemanusiaan dan kehidupan mereka sehari-hari.
Atas dasar itulah Michelangelo --tanpa menyisihkan pengakuan atas kehebatannya selaku seniman genius-- tampil dalam daftar urutan buku ini lebih rendah ketimbang para ilmuwan dan penemu, kendati mereka itu tidak begitu masyhur jika dibandingkan Michelangelo.
Dunia Sastra Indonesia telah mengenal seorang penyair besar bernama Chairil Anwar, seorang yang teramat dipopulerkan oleh karya-karyanya sendiri yang memuat besarnya sebuah pemikiran akan keterkaitan dirinya dengan suatu keadaan dan persoalan zaman, tentang Perang, Revolusi dan bahkan Si Binatang Jalang(Julukan Chairil Anwar) ini telah mengisyaratkan keberadaan dirinya juga melalui kata-kata. meski sang sastrawan besar ini meninggal di usia muda yang akan beranjak 27 tahun, Sastra Indonesia dalam perkembangannya hingga saat ini masih merasakan benar pengaruh bahasa seorang Chairil Anwar yang cenderung berlepas diri dari kaidah bahasa baku demi sebuah ekspresi keindahan sastra.
Chairil Anwar adalah seorang anak tunggal yang lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, dari pasangan Toeloes dan Saleha yang keduanya berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota di Sumatera Barat, Bapaknya adalah mantan Bupati Indragiri Riau sedangkan ibunya masih punya pertalian keluarga dengan Sultan Sjahrir (Perdana Menteri Indonesia Pertama), Chairil lahir dan dibesarkan dalam kehidupan keluarga yang cukup buruk, dimana ketika beranjak pada usia 19 tahun, kedua orang tuanya bercerai yang kemudian ayahnya menikah lagi dengan wanita lain sedangkan Chairil bersama Ibunya pindah ke Batavia (jakarta).
Chairil Anwar kecil masuk sekolah dasar Holland Indische School (HIS) yang merupakan sekolah dasar untuk orang-orang pribumi di masa penjajahan Belanda, selanjutnya dia meneruskan pendidikan menengah pertamanya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, kemudian sejak usia 18 tahun ia tidak melanjutkan sekolah lagi, meskipun begitu Chairil mampu menguasai bahasa-bahasa asing yang diantaranya Bahasa Inggris, Belanda dan Jerman. di Jakarta Chairil mulai berkenalan dengan dunia Sastra dan banyak menghabiskan waktunya untuk membaca tulisan-tulisan Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff serta Edgar du Perron, kesemua penulis tersebut kelak sangatlah berpengaruh pada tulisannya sendiri yang bisa diartikan berpengaruh juga pada tatanan Kasusastraan Indonesia.
Tahun 1942 merupakan tahun dimana nama Chairil Anwar mulai dikenal dalam Dunia Sastra, hal ini berkaitan dengan pemuatan tulisannya di Majalah Nisan, tepatnya ketika dia menginjak usia 20 tahun. pada masa itu sebagian besar puisi-puisinya bertemakan kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Chairil Anwar dalam kehidupannya pernah menjadi penyiar radio jepang di jakarta dan mulai jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Sri Ayati yang hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. kemudian pada tanggal 6 Agustus 1946 ia memutuskan untuk menikahi Hapsah Wiraredja dan dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, Pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian pada akhir tahun 1948.
Chairil Anwar mulai diserang sejumlah penyakit sebelum menginjak usia ke 27 tahun yang berakhir pada kematiannya dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo) pada tanggal 28 April 1949, dikatakan bahwa menjelang kematiannya, Chairil Anwar insaf dan mengingau memanggil “Tuhanku, Tuhanku….” dan sehari setelah kematiannya ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus”.
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi, kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
2. Affandi Koesoema adalah nama seorang Maestro Seni Lukis Indonesia, seorang putra Cirebon yang lahir pada tahun 1907, Putra seorang bapak bernama R. Koesoema yang seorang mantri ukur pabrik gula di Ciledug (Cirebon). pendidikannya di awali di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs(MULO) hingga di Algeme(e)ne Middelbare School (AMS), jenjang pendidikan yang cukup tinggi pada masa itu, meskipun begitu bakat melukis yang begitu kental telah mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya.
Pada tahun 1933 yakni ketika Affandi telah berumur 26 tahun, beliau menikah dengan Maryati yang kemudian dikaruniai seorang putri dengan diberi nama Kartika Affandi yang kemudian mewarisi darah seniman bapaknya sebagai Pelukis. Affandi juga sempat menjadi guru dan bekerja sebagai seorang tukang sobek karcis serta membuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung Bioskop Bandung, namun itu tidaklah lama karena ketertarikannya pada Bidang Seni Lukis, selanjutnya pada kisaran tahun 30-an, beliau tergabung dalam kelompok Lima Pelukis Bandung (Lima Bandung) bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi. Lima Bandung adalah kemudian dikenal memiliki andil yang cukup besar dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia.
Pameran Tunggal Pertamanya diadakan di tahun 1943 di Gedung Poetera Djakarta dimana pada tahun tersebut sedang berlangsung pendudukan tentara jepang di indonesia, sejak saat itulah namanya terus bersinar, diceritakan bahwa beliau pernah mendapatkan beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, yang ternyata menolaknya dengan alasan karena beliau sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi, akhirnya beasiswa tersebut dimanfaatkan untuk Pameran keliling India, Affandi juga termasuk pimpinan pusat dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan pada tahun 1950, Organisasi Kebudayaan Terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto.
Nama Affandi dalam bidang Seni Rupa semakin bersinar, Karya-karyanya dipamerkan diberbagai negara di Asia, Eropa, Amerika dan Australia dan selalu memukau pencinta seni dunia, hingga pada tahun 1974 beliau diberi gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, juga Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan berupa sebuah museum yang didirikan tepat di atas tanah yang pernah menjadi tempat tinggal sang Empu Lukis Indonesia ini dan diresmikan Menteri P&K masa itu, Fuad Hassan. Semasa hidupnya, Affandi diketahui telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis.
Affandi merupakan Maestro Seni Lukis dengan kesederhanaan cara berfikir, meskipun dunia mengakui karya – karyanya bergenre Ekspresionis, namun beliau mengaku tidak tahu menahu mengenai aliran tersebut, Beliau cenderung membutakan diri terhadap teori dan lebih suka bekerja secara nyata dengan penuh kesungguhan, Affandi adalah gambaran kesederhanaan yang mengatakan dirinya tidak punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dia hanya mengaku sebagai tukang gambar, ketika beliau ditanya kenapa dia melukis, beliau hanya menjawab “Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan”
Affandi tetap berprofesi menjadi seorang Pelukis hingga saat meninggalnya pada 23 Mei 1990, meski telah tiada, karya-karya tetap bisa dinikmati di Museum Affandi yang terletak diatas tanah tempat tinggalnya, terdapat sekitar seribu lebih lukisan didalamnya, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
3. Sutardji Calzoum Bachri
Ia adalah Presiden Penyair Indonesia yang dikatakan oleh Para Seniman Riau perihal kemampuannya adalah laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam Dunia Sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah kepergian pujangga besar Penyair Legendaris Indonesia Chairil Anwar. bahkan dia telah menerobos perihal Kata, baik makna, jenis, bentuk hingga tata bahasanya demi menciptakan karya-karya yang terbebas dari belenggu atau aturan-aturan.
Sutardji Calzoum Bachri terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara yang dilahirkan di daerah Rengat, Indragiri Hulu pada 24 Juni 1941, putra dari pasangan Muhammad Bachri dan May Calzoum, sang ayah berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah sedangkan ibunya berasal dari Tanbelan, Riau. Setelah tamat SMA bung tardji (sapaan akrab Sutardji Calzoum Bachri) sempat melanjutkan studinya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Pada masa studinya di bandung itu ia mencoba merintis kesastraannya dengan mulai menulis di beberapa surat kabar hingga sajak-sajaknya sempat dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. pada kisaran tahun 1974 ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam yang dilanjutkan dengan mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji menikah dengan Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.
Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri adalah Karya Sastra yang mengusung konsep kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. kalimat dalam karyanya tidaklah beraturan dan itu merupakan ciri khasnya yang membuat kehidupan Sastra di Indonesia menjadi lebih segar. melalui Sajak-sajaknya tersebut Sutardji mencoba memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. keunikan Sutardi dalam bersastra bukan hanya pada sajak-sajaknya saja, penampilannya di atas panggung pun menarik perhatian semua orang. Pada sebagin besar penampilannya, ia selalu tampil dengan menunjukan sebuah atraksi dan membawa harmonika kesayangannya.
Beberapa Sajak Sutardji Calzoum Bachri telah diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. “O Amuk Kapak” adalah penerbitan yang lengkap dari tiga buku sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
4. Basuki Abdullah
Basuki Abdulah adalah salah satu Tokoh Seni Rupa Indonesia yang dikenal sebagai pelukis beraliran realis dan naturalis. Seorang Maestro Pelukis Indonesia yang pernah menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta. Beragam karyanya banyak menghiasi Istana-istana Negara dan kepresidenan Indonesia serta menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia. Beliau adalah Seniman multitalenta, selain sebagai pelukis, Basoeki Abdullah juga pandai menari dan sering tampil sebagai Rahwana atau Hanoman dalam Tarian Wayang Wong, sebagai pelukis dengan wawasan yang luas, beliau sangatlah menguasai soal pewayangan dan budaya jawa, disamping itu Basuki Abdullah juga menyukai komposisi-komposisi Franz Schubert, Bethoven dan Paganini.
Basoeki Abdullah adalah seorang Pelukis yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, terlahir di Desa Sriwidari pada tanggal 27 januari 1915, ayahnya adalah seorang Pelukis dan salah satu tokoh Mooi Indie bernama R. Abdullah Suryosubroto, sedangkan Ibunya bernama Raden Nganten Ngadisah. Basuki Abdullah adalah cucu dari Wahidin Sudirohusodo yakni salah satu Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia. terhitung sejak umur 4 tahun, Basuki kecil telah gemar menggambar tokoh-tokoh terkenal dunia seperti Yesus Kristus, Mahatma Ghandi, Rabindranath Tagore, Khrisnamurti dan lain-lain. Basuki Abdullah memulai pendidikan formalnya hingga masa muda di HIS (Hollands Inlandsche Scool) yang kemudian dilanjutkan di MULO (Meer Ultgebried Lager Onderwijs). Selanjutnya beliau mendapatkan beasiswa untuk pendidikan Seni Rupa di Academie Voor Beldeende di Deen Haag, Belanda. Selama 2 tahun 2 bulan dengan meraih penghargaan sertifikat RIA (Royal International of Art). Selanjutnya beliau juga mengikuti pendidikan semacam studi bandi ke sejumlah sekolah seni rupa di Paris dan Roma.
Pada tahun 1939, karena merasa bahwa selama bertahun-tahun hasil karyanya hanya dinikmati oleh bangsa asing, Basuki Abdullah mengadakan Pameran Lukisan keliling di beberapa daerah di Indonesia seperti di Jakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Medan. Selama pameran tersebut beragam sanjungan dan kritikan menghampiri, namun oleh beliau dijadikan sebagai dorongan untuk tetap berkarya. Basoeki Abdullah mulai terlihat dalam pergerakan revolusi secara nyata pada kisaran tahun 1942, dan bergabung dengan organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) sebagai pengajar Seni Lukis di tahun 1943. Selain itu beliau juga aktif dalam Keimin Bunka Sdhojo yang merupakan Pusat Kebudayaan milik Jepang bersama Affandi, S. Soedjojono, Otto Djaja dan Basoeki Resobowo. Pada masa-masa kemerdekaan Indonesia, Basoeki Abdullah berada di Eropa bersama istrinya Maya Michel, selama di Eropa, beliau terus aktif berpameran di Belanda dan Inggris. Adapun di tahun 1948, beliau memenangkan sayembara melukis dalam Penobatan Ratu Yuliana, sayembara tersebut menjadikan nama beliau sangat menonjol karena diikuti oleh 87 pelukis Eropa.
Selanjutnya, Pengabdian Basoeki Abdullah semakin nyata ketika mendapatkan tawaran untuk melukis orang-orang penting dari berbagai Negara serta tetap aktif berpameran keliling di berbagai Negara, diantaranya di Singapura (1951), Italia (1955), Portugal dan Inggris (1956), Singapore (1958), Tokyo, Jepang (1959), Kuala Lumpur, Malaysia (1959), dan Thailand (1960). Diantara pameran tersebut yang menonjol pada peroide tahun 1950-1960, yaitu pameran Jepang di Tokyo Jepang pada tahun 1959 yang dibuka oleh Pangeran Mikasa. Anak Kaisar Hirohito. Segala perjuangan yang dilaluinya telah menempatkannya sebagai Duta Seni Lukis Indonesia dan menempati posisi terhormat dengan berbagai penghargaan, pernah menjadi pelukis istana kerajaan Thailand, dan mendapatkan penghargaan berupa bintang emas Poporo dari Raja Bhumibol Aduljadej (Raja Thailand), yaitu sebuah penghargaan tertinggi kerajaan Thailand kepada seorang Royal Court Artist yang mempunyai jasa besar kepada pemerintah dan istana.
Selama perjalanan hidupnya, Basuki Abdullah pernah menikah sebanyak empat kali, istri pertama adalah seorang gadis belanda bernama Josephin yang dinikahi di Belanda tahun 1937 dan setahun kemudian dikaruniai seorang putri bernama Saraswati, pernikahan tersebut tidaklah berlangsung lama, ditahun 1944 Basoeki Abdullah menikah kembali dengan Maya Michel yang seorang penyanyi seriosa mezzosoprano dan kembali berpisah di tahun 1956. Selanjutnya ditahun 1958 menikah kembali dengan wanita Thailand bernama Somwang Noi, namun pernikahan tersebut hanya berlangsung sekitar 2 tahun. Pernikahan terakhir Basuki Abdullah juga dengan wanita Thailand bernama Nataya Nareraat, pernikahan tersebut berlangsung tanggal 25 oktober 1963 hingga akhir hidupnya dengan dikaruniai seorang putrid bernama Cicilia Shidawati.
Basoeki Abdullah meninggal dalam keadaan tragis di usia ke 78, beliau terbunuh oleh seorang pencuri yang hendak mencuri koleksi jam kesayangannya pada hari jumat 5 november 1993. Beliau ditemukan oleh pembantunya dalam posisi tertelungkup, dengan tangan masih memegang kacamata, disertai wajah dan kepala berdarah. Suatu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita. Banyak sekali media yang mencatat peristiwa terbunuhnya pelukis ini. Jenazah Basoeki Abdulllah kemudian dimakamkan didesa Mlati, Sleman Yogyakarta, bersanding dengan makam kakeknya, dr. Wahidin Sudirohusodo.
5. Taufik Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963.
Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.
Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.
Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).
Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.
Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah
Advertisement
menghasilkan sebanyak 75 lagu. Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
6. William Shakespeare Sastrawan Inggris
William Shakespeare adalah seorang budayawan dan sastrawan di Inggris. Ia seringkali disebut orang sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah ada di Inggris. Ia menulis antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung lebih banyak diantara semua penulis sandiwara yang lain di dunia.
Biodata William Shakespeare
Nama Lengkap : William Shakespeare
Tanggal Lahir : 26 April 1564
Tempat Lahir : Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris
Kewarganegaraan : Inggris
Orang tua : John Shakespeare dan Mary Aden
7. MICHELANGELO
Tak pelak lagi, tokoh terdepan dalam seni visual dalam sejarah adalah budayawan besar masa "Renaissance," Michelangelo. Bukan kepalang briliannya selaku pelukis, pemahat dan arsitek, meninggalkan hasil karya yang mempesona tiap orang yang melihatnya selama lebih dari empat abad. Karyanya secara mendalam mempengaruhi perkembangan seni lukis dan pahat Eropa sesudahnya.
Lahir di Caprese, Itali tahun 1475, kira-kira empat puluh mil dari Florence. Dari kecil bakatnya sudah tampak jelas, dan di umur tiga belas dia magang pada pelukis kenamaan Shirlandaio di Florence. Setahun sesudah itu dia tinggal di istana Medici milik Lorenzo, penguasa Florence yang bertindak selaku pelindungnya. Sepanjang kariernya bakat besar Michelangelo tak diragukan lagi.
Dia sering sekali dipercaya baik oleh para Paus maupun tokoh duniawi merancang dan membuat karya seni. Meski dia tinggal di banyak tempat, sebagian terbesarnya dihabiskan di Roma dan Florence. Meninggal dunia di Roma tahun 1564, tak lama sesudah usianya lewat delapan puluh sembilan tahun. Setua itu, tak sekalipun pernah kawin.
Kendati dia tidak segenius Leonardo da Vinci angkatannya yang lebih tua, keserbabisaan dan kebolehan Michelangelo tetap amat mempesona. Dialah satu-satunya seniman, mungkin satu-satunya orang, yang sanggup mencapai puncak prestasi dalam dua bidang yang berbeda satu sama lain. Selaku pelukis dia berada hampir di puncak, baik dari segi kualitas keindahan karyanya maupun pengaruhnya terhadap pelukis-pelukis yang datang belakangan. Fresko besar yang menghiasi dinding atas gereja Sistine di Roma merupakan --tidak bisa tidak-- kreasi seni terbesar sepanjang jaman. Tetapi, Michelangelo sendiri menganggap dirinya pertama-tama seorang pemahat, dan banyak kritikus yang menganggapnya pemahat terbesar yang pernah hidup. Patung "Daud" dan "Musa"-nya --misalnya-- dan "Pieta" yang mashur merupakan hasil karya seni yang tak terlampaui.
Michelangelo juga seorang arsitek besar. Salah satu hasil kerja besarnya di bidang ini adalah rancangan gereja Medici di Florence. Selama beberapa tahun dia juga jadi kepala arsitek gereja St. Peter di Roma.
Micheangelo banyak membikin sajak selama hidupnya, sekitar 300 sajak dapat ditemukan. Soneta-sonetanya dan sajak-sajak lain diterbitkan sesudah matinya. Kesemua sajak-sajaknya itu mencerminkan jelas corak kepribadiannya, dan Michelangelo memang menunjukkan dirinya penyair berbakat.
"Pieta" di Vatikan Roma
Seperti halnya saya jelaskan dalam artikel tentang Shakespeare, saya percaya bahwa seni dan para seniman pada umumnya tidaklah begitu banyak pengaruhnya kepada sejarah kemanusiaan dan kehidupan mereka sehari-hari.
Atas dasar itulah Michelangelo --tanpa menyisihkan pengakuan atas kehebatannya selaku seniman genius-- tampil dalam daftar urutan buku ini lebih rendah ketimbang para ilmuwan dan penemu, kendati mereka itu tidak begitu masyhur jika dibandingkan Michelangelo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar